Apalagi yang paling menyakitkan dalam sebuah pengkhianatan selain menjadi yang tidak terpilih?
Demi mengejar cinta Esa, Ladys meninggalkan karier sebagai fotografer fashion di Seoul dan pulang ke Bali. Pulau yang menyimpan kenangan buruk akan harum melati di masa lalu dan pada akhirnya menjadi tempat ia menangis.
Dias memendam banyak hal di balik sifat pendiamnya. Bakat terkekang dalam pekerjaannya sebagai asisten fotografer, luka dan kerinduan dari kebiasaannya memakan apel Fuji setiap hari, juga kemarahan atas cerita kelam tentang orang-orang yang meninggalkannya di masa lalu. Hingga dia bertemu Ladys dan berusaha percaya bahwa cinta akan selalu memaafkan.
Ini kisah tentang para juru foto yang mengejar mimpi dan cinta. Tentang pertemuan tak terduga yang bisa mengubah cara mereka dalam memandang dunia. Tentang pengkhianatan yang akhirnya memaksa mereka percaya bahwa hidup kadang tidak seindah foto yang terekam setelah mereka menekan tombol shutter.
Novel ketiga, akan terbit tanggal 26 Desember 2016.
Sebuah cerita tentang sang fotografer dan asistennya. Ladys dan Dias, mereka bekerja sama untuk membuat foto pre wedding yang indah, seindah mimpi-mimpi mereka akan cinta dan masa depan.
Ladys yang masih baru di bidang event tidak sadar bahwa antara fotografi fashion dan fotografi wedding memiliki teknik yang berbeda, sehingga ketika Dias menegurnya dengan prinsip Rule of Thirds, ada sesuatu yang membuatnya marah.
Dias hanyalah asisten, tukang angkat-angkat barang. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah memegang kamera bisa mengajarinya cara mengambil foto yang benar?
Namun pada akhirnya, Ladys harus mengakui bahwa pekerjaan bukan standar untuk menentukan kualitas diri seseorang. Ada sesuatu yang dia temukan tentang sosok Dias. Sesuatu yang membuatnya menyadari bahwa dia mengobral maafnya terlalu murah.
Berlatarkan kota Denpasar dan sedikit kota Seoul, Ladys dan Dias akan mengajak kalian berkeliling ke beberapa tempat. Selain Pasar Badung, krematorium dan Pantai Suluban, mereka juga akan berburu harum melati ke Singaraja dan mengejar manisnya cita rasa apel Fuji ke Gianyar. Sentuhan lokalitas adalah salah satu hal menarik dalam cerita ini, kearifan lokal yang sangat terasa pada kehidupan Dias dan Ladys. Salah satunya akan mengantarkan pembaca pada indahnya kata maaf.
Banyak yang penulis titipkan pada cerita ini. Rasa hangatnya kasih keluarga, rasa sakitnya ditinggalkan, bagaimana kebahagiaan adalah hadiah untuk sebuah perjuangan dalam hidup. Tidak lupa, bahwa cinta memang akan selalu memaafkan.
Lewat cerita ini kamu akan sadar bahwa adalah ada hal-hal yang tidak harus mendapat maaf. Untuk itu, berhati-hatilah memilih cinta agar kamu tidak salah memaafkan.
salam
Penulis
Sebuah cerita itu berawal dari sepotong kecil ide.
Ketika menyelesaikan naskah Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta, saya menemukan foto sebuah tempat indah di Bali. Pada awalnya, foto itu hanya saya pakai sebagai bahan riset naskah. Hanya saja, ketika saya mengunjungi akun Instagram sang pengunggah, saya melihat banyak sekali foto yang menggugah. Pemilik akun itu mungkin bukan seorang fotografer profesional, tetapi apa yang dia sajikan di koleksinya membuat saya membayangkan bagaimana rasanya jika menjadi seorang fotografer.
Kesan itu tertinggal begitu dalam, membuat saya terilhami akan sebuah ide. Tentang para fotografer yang sangat handal untuk membuat foto-foto bagus. Hanya saja, ide itu tertunda karena belum menemukan konflik yang tajam. Akhirnya, selama beberapa saat hingga saya menyelesaikan naskah SMPKB, saya kembali menggodok ide ini. Sedikit demi sedikit, plotnya bertambah. Konflik demi konflik, penyelesaian demi penyelesaian. Sampai akhirnya saya merasa bahwa ide ini siap untuk ditulis.
Dulu sekali, saya pernah berniat untuk menulis naskah tentang sebuah profesi. Niat itu kemudian saya salurkan pada naskah ini. Sehingga sebelum benar-benar mulai menulis, Saya butuh waktu yang cukup lama dalam mendalami kamera dan teori-teori fotografi. Saya sendiri suka melihat foto, tetapi buta sama sekali tentang kamera dan fotografi. Beruntung banyak sekali blog-blog dan juga forum yang mengupas soal fotografi di internet.
Saya mengumpulkan banyak artikel, mencatat beberapa istilah-istilah penting dalam fotografi. Dari berbagai istilah, Rule of Thirds merupakan yang paling unik. Pada awalnya, saya belum menemukan analogi yang pas mengenai istilah ini, hingga menjelang ending, saya merasakan bahwa tahap-tahap hidup manusia dalam mencari pasangan bisa kita bagi menjadi tiga. Apa saja? jawabannya tentu saja ada di novelnya. Hahahha
Selain itu, pada naskah ini, saya berusaha sekali untuk membuat karakter-karakter yang unik. Saya pernah membaca sebuah teori membuat karakter yang kuat. Salah satu contoh dalam teori itu adalah memberi kegemaran khusus pada karakter, seperti misalnya seorang gadis yang selalu melihat awan. Berbekal teori itu, saya membuat sang karakter utama menyukai hal-hal khusus yang mengingatkan mereka pada masa lalu.
Ladys amat menyukai melati dan Dias selalu merindukan apel Fuji. Kenapa saya memilih melati dan apel Fuji? Tentu saja ada cerita khusus di balik dua hal itu dan sekali lagi, alasannya akan kamu dapatkan di bab 11.
Novel Rule of Thirds ini sendiri sebenarnya adalah 'kakak' bagi The Stardust Catcher, karena salah satu ide konflik Joe terinspirasi dari kisah ini. Namun takdir berlaku lain, karena Rule Of Thirds terbit belakangan.
Pada akhirnya, saya benar-benar bahagia karena kisah ini berhasil dibawa ke hadapan pembaca. Bukannya bermaksud untuk mengabaikan naskah-naskah yang lain, tetapi naskah Rule of Thirds ini merupakan naskah yang paling saya sayang. Karakter-karakternya begitu dekat dan kuat. Bersyukur editor sama sekali tidak ada mengoreksi hal-hal krusial yang berhubungan dengan mereka, sehingga Ladys dan Dias yang tampil di novel, sama persis dengan Ladys dan Dias yang terbentuk dalam pikiran saya.
Menurut rencana, novel ini akan terbit akhir Desember dan menemani libur akhir tahunmu. Ada cerita-cerita unik sebenarnya dalam proses penulisan, editing, terutama kejadian lucu dan menggelikan pada saat proses acc naskah ini di penerbit. Selengkapnya, akan saya ceritakan di post selanjutnya.
Oh ya, mengenai foto di awal post ini, tempat yang muncul di foto kemudian masuk di naskah Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta, di bab yang berjudul Mencari Nirwana.
Twitter : @alhzeta
Posel : alhzeta@gmail.com
Tiga kisah khayalannya sudah dibukukan, serta satu lagi dirilis dalam bentuk e-book.
1. Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta
Terbit bulan Maret 2016 oleh penerbit JOPH. Merupakan pemenang pertama untuk sayembara menulis yang diadakan penerbit.
Baca sinopsis di : Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta
2. The Stardust Catcher
Terbit tanggal 31 Maret 2016 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Naskah dipilih editor dari laman Gramedia Writing Project.baca sinopsis lengkap di : The Stardust Cacther Novel
3. Rule of Thirds
Terbit tanggal 26 Desember 2016 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama.Baca sinopsis selengkapnya di : Rule of Thirds novel
4. Proyek Rahasia Lula
Merupakan novela yang hanya diedarkan di Playstore. dirilis oleh penerbit Bentang PustakaBeli buku ini di : Proyek Rahasia Lula di Playstore
5. Friend Zone Alert
Merupakan kumpulan novela yang berisi 5 cerita dari 5 penulis. Proyek Rahasia Lula masuk ke buku edisi cetak ini.sinopsis singkat bisa dilihat di : Friend Zone Alert
6. Welcome Home, Rain
Terbit tanggal 16 Oktober 2017 di Gramedia Pustaka Utama.Sinopsis bisa dilihat di Welcome Home, Rain
7. Purple Prose
Terbit tanggal 29 Oktober 2019 di Gramedia Pustaka UtamaSinopsis bisa dilihat di : Purple Prose
Well, hari ini saya memenangkan satu kompetisi lagi. Lomba menulis Novela bertema Friendzone yang diselenggarakan oleh Bentang Pustaka. Lomba ini berlangsung sekitar bulan Agustus - September kemarin. Saya sih menulisnya mendekati deadline, karena baru terpikir untuk idenya di akhir akhir bulan September.
Btw, naskah ini berjudul Proyek Rahasia Lula. Seperti judulnya, karakternya bernama Lula, seorang cewek SMA yang bercita-cita menjadi seorang sineas. Bersama sahabatnya, Rah Adi, dia ingin mengikuti sebuah lomba film pendek yang diselenggarakan Pemda Bali. Yap, seperti novel The Stardust Catcher dan Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta, setting untuk naskah ini tetap di Bali. (Juga untuk naskah Rule Of Third).
Ide ceritanya sendiri saya ambil dari kisah ponakan yang ikut lomba serupa. Jadi dengan sedikit riset dan sentuhan lebay khas penulis, naskah ini jadi juga. hahahha. Dan, Yah, akhirnya saya bisa juga menulis cerita remaja. Walau sebelumnya sempat merasa 'menyerah' dengan tipe cerita macam ini.
Naskahnya sendiri selesai saya tulis 1 hari (maklum, pendek soalnya), lalu dilanjutkan editing keesokan harinya. Pemenangnya sendiri banyak ya, sekitar 50 naskah dari total yang masuk sebanyak 250. Jadi, peluang menangnya memang gede dan kalau misalnya naskah yang keterima 20 seperti rencana awal, mungkin naskah saya tidak lolos. Halah. mulai lagi kurang pedenya.
Nantinya, novela ini hanya akan dijual dalam bentuk ebook, yang bisa diunduh di Google Play. Yang tertarik, bisa tunggu tanggal mainnya ya.
Tentang Redundan #Catatan saat Editing Novel Rule Of Third
By alhzeta - July 21, 2016
Postingan ini saya tulis di sela-sela editing naskah novel saya yang baru Rule Of Third. Kenapa kebelet sekali posting sementara deadline menghadang?
Hahha... sebenarnya saya sengaja, posting saat topik ini sedang hot-hotnya di kepala. Selain untuk berbagi, topik ini juga akan jadi mengingat bagi saya saat menulis di kemudian hari.
Dari beberapa sumber, redundan itu dideskripsikan sebagai "berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran". Lebih ngetrennya adalah boros kata, memasukan kata berlebih padahal maksudnya sudah tersampaikan hanya dengan satu dan dua kata.
Nah, masih dari website lain, katanya secara semantic masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.
Misalnya untuk kalimat "Bola ditentang oleh Andi vs Boleh ditendang Andi. Pemakaian kata 'oleh' pada kalimat kedua akan lebih menunjukkan pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tidak ada kata 'oleh'.
Contoh redundan yang sering banget saya lakukan adalah:
Ladys masuk ke dalam mobil ==> kalau sudah masuk berarti ya ke dalam, tidak perlu lagi ditambahkan kata 'dalam'.
Dias menggelengkan kepala ===> arti geleng di KBBI adalah 'gerak ke kanan dan ke kiri (kepala)'. Jadi kalau menggeleng, sudah pasti yang melakukannya adalah kepala.
Ladys melangkahkan kakinya menjauh dari mobil ==> sama dengan urusan menggeleng di atas, langkah itu sudah pasti adalah gerakan kaki.
Kesalahan ini berulang-ulang dan membuat saya malu. Syukur mbak editornya tidak memberikan catatan yang menunjukan doi jengkel (mungkin dalam hatinya jengkel dan bilang 'ini penulis nyebelin banget, salah kok sering-sering". hahahha....
Apa lagi ya, segitu saja dulu urusan redundan ini. Saya mau lanjut edit.
Hampir sebulan sudah novel ini nangkring di toko. Sudah ada beberapa review yang masuk pula di Goodreads. Tanggapannya macem-macem, ada yang suka, ada yang datar-datar aja, bahkan ada yang bilang 'persetan'. Hedeh....
Tapi review yang membuat saya agak kaget adalah bahwa novel ini lucu. Bahkan ada beberapa yang bilang sampai ngakak. Sumpah, sedari awal ditulis, saya hanya membayangkan sebuah buku petualangan fantasi dengan peri dan romance sebagai selingan. Sama sekali tidak sengaja membubuhi bumbu humor mengingat bagi saya membuat cerita lucu itu lebih sulit ketimbang tidur di bus.
Jadi, jika ada yang mengharap saya akan menulis naskah lain dengan karakter humor sejenis ini, maaf-maaf saja. Saya nggak berani janji. Humor dalam The Stardust Cacther itu murni ketidaksengajaan.
Oke, setelah pengakuan yang saya tahan-tahan dari review pertama masuk, saya mau lanjut ah. Naskah The Stardust Catcher adalah naskah lengkap terakhir yang saya tulis di tahun 2015, naskah ketujuh. Mulai penulisannya tanggal 21 Oktober dan selesai tanggal 1 Desember. (Iya, catatannya ada kok.
Jadi dalam setahun itu, saya merampungkan 7 naskah lengkap. Naskah keempat adalah Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta, dua naskah lain ditolak dan nggak akan diperbaiki (menyerah), satu naskah nggak diapa-apain karena memang nggak layak dan dua lainnya masih berusaha menemukan rumah.
Nah, balik lagi ke Stardust Catcher. Pasti sudah banyak yang tahu kalau naskah mentah novel ini adalah untuk menjawab tantangan sang editor. Pertama kali menemukan tantangan itu saat stalker akun twitter GWP_ID di bus. Jujur ya Mimin GWP_ID, saya sempat putus asa dengan komunitas ini. Saya berharap banget lolos di ajang GWP_ID2, tapi jangankan lolos. Masuk 30 besar aja nggak. Kecewa kelas berat, akhirnya hiatus selama beberapa lama.
Entah karena apa, saya masuk lagi. Ketika stalker itulah saya menemukan akun twitter sang editor. Stalker mengganas, dan akhirnya nemu tantangan itu. Saya agak cemas sebenarnya karena tantangan ini dibuat seminggu yang lalu. Apa masih berlaku atau tidak. Namun berhubung saya suka peri, saya merasa bahwa inilah salah satu kesempatan yang saya punya untuk 'dilirik'.
Proses menemukan ide nggak begitu lama. Saat itu juga di sepanjang perjalanan di bus. Sementara teman-teman di bus ngorok, berhubung juga saya sangat susah tidur di bus, saya akhirnya menghabiskan waktu untuk melamun dan mencari ide.
Konsep pertama yang tergambar dengan jelas di benak saya kala itu adalah identitas sang peri. Kenapa? Karena sang editor menekankan sekali tentang keberadaan peri ini, yang notabene pasti akan jadi kunci utama dalam cerita.
Sally akan jadi peri jodoh, peri yang mempertemukan orang-orang. Sebenarnya Sally ini adalah perwujudan takdir. Bentuk nyata dari ketentuan Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Singkatnya, Sally adalah karakter imajiner yang bisa melaksanakan fungsi takdir itu sendiri. Gampang kan, Sally adalah metafora dari takdir.
Latarbelakang Sally dari Nordik terinspirasi dari mitologi tentang bunga aster yang sempat ketemu semasa riset untuk naskah keenam. Konon ya, ada dewi yang bernama Astaea yang menangisi dosa-dosa manusia di bumi. Air matanya jatuh sebagai debu-debu bintang dan kemudian berubah menjadi bunga aster sewaktu menutupi bumi. Nah, ide ini saya kombinasikan dengan mitologi Ragnarok dengan manusia-manusianya yang tersisa setelah kiamat tersebut. Maka jadilah konsep The Stardust Catcher yang ternyata berlanjut sebagai judul.
Oke, konsep peri ketemu. Kemudian saya berusaha mencari premise. Patokan saya saat itu adalah gambaran tentang lini Young Adult yang adalah pencarian jati diri. Sebelumnya, di naskah kelima tahun 2015 saya menulis tentang anak-anak broken home yang sudah kehilangan salah satu orangtua. Naskah itu menginspirasi saya untuk merubah sedikit sudut pandang, sedikit maju ke awal sebelum para orangtua bercerai. Nah, pada saat itu saya juga ingat ya video anaknya Deddy Corbuzier yang menyikapi perpisahan orangtuanya.Video itu membuat saya memahami sesuatu.
Kemudian untuk karakter utama selain Sally. Saya terpikir untuk membuat karakter cowok karena kebanyakan karakter-karakter utama novel itu adalah cewek. Cowok nggak selalu kuat, cowok juga manusia yang memiliki emosi dan dalam perkembangannya, memiliki labilitas dan proses pematangan yang sama dengan cewek. Ide nama Joe saya ambil dari salah satu teman blogger di era magabut dulu (Hai, Joe... gimana kabarmu sekarang? hihihihhi)
Lalu karakter Sally. Dalam film LOTR, peri itu gambaran wanita anggun dan cantik. Saya bosan dengan image yang begitu, jadi ingin membuat peri yang berbeda. Kebetulan beberapa waktu lalu saya menonton Inside Out dan terkesan banget dengan Joy. Yap, @raafian kamu tidak salah. Sally adalah copian Joy, tapi lebih kekanak-kanakan dan konyol. Hehehehe....
Kemudian karakter Mela. Saya punya potongan ide yang belum menemukan jalan, tentang spa terapis yang jadi TKI di Cesme, Turki. Dari pada mojok tidak karuan dan saya butuh karakter yang lebih kuat dan akhirnya bisa membuat Joe 'takhluk', akhirnya saya hadirkan di naskah ini.
Percaya atau tidak, kemunculan premise dan karakter-karakter utama ini hanya dalam waktu kurang lebih lima jam. Malamnya saat lowong, dengan plot yang belum lengkap-lengkap banget, akhirnya saya menulis sinopsis dan prolog untuk GWP (prolog yang akhirnya dihilangkan karena kata editornya terlalu deskriftif). Sementara untuk Bab 1 (yang jadi prolog sekarang), baru ditulis keesokan harinya.
Tiga bagian itu saya unggah di GWP_ID dan kemudian mention sang editor. Nggak begitu banyak berharap sebenarnya, bahkan berusaha untuk lupa bahwa barusan sempat mention. Namun ternyata,
tanggapan sang editor sungguh tidak terduga. Beliau menyukainya, bahkan meminta saya melanjutkan ceritanya. Dan, selain senang, tahu perasaan saya saat itu gimana?
Saya takut. Jujur, dengan penerimaan awal yang teramat baik dari editor dan juga dimention oleh GWP_ID, saya cemas jika kelanjutannya tidak sesuai dengan harapan. Namun tetap kan, usaha ini harus diteruskan. Berkali-kali merasa nggak pede, posting, mention, edit, kemudian posting dan mention lagi. Sampai akhirnya di bab 5 or 6, editor meminta saya menyelesaikannya dahulu dan kembali mention kalau sudah lengkap.
Saat naskah itu selesai di awal Desember, saya kemudian mengirimnya. Ajaib, di akhir tahun, tepatnya 28 Desember balasan itu datang. Kabar yang dibawa semua pasti sudah tahu. Sungguh, Benar-benar kado tahun baru yang tidak terduga.
Proses editing dimulai di awal Januari. Jujur, saya malu sekali dengan kondisi naskah mentah The Stardust Catcher. Banyak kekurangan, typo di mana-mana, struktur kalimat tidak berpola dan juga salah penggunaan kata. Berkali-kali editor menyuruh saya cek KBBI (makanya serasa nelan KBBI) karena salah kata.
Tidak ada revisi plot, hanya catatan-catatan mengenai tata kalimat dan ejaan. Beberapa menyangkut logika berpikir, terutama yang berhubungan dengan mitologi ( Awalnya nyampur antara mitologi Eropa selatan dan Utara, akhirnya saya mencari alternatif mengenai bunga aster dengan dewa bintang pagi). Soalnya gawat kalau yang baca itu pencinta fantasi.
Namun intinya, saya menikmati proses editing yang selesai sekitar bulan Februari ini. Saya banyak belajar, banyak mengamati dan tentunya mampu mengevaluasi naskah-naskah yang lain agar setidaknya lebih rapi ketimbang sebelumnya.
Proses layout, proofreading, turun cetak dan sebagainya berlangsung tidak lama. Total awal waktu mulai dari ACC naskah hingga terbit hanya butuh waktu 3 bulan. Jauh lebih cepat dari pada seorang teman yang harus menunggu hingga 2 tahun hanya untuk mendapat giliran editing, dan bahkan sampai postingan ini ditulis, bukunya belum juga terbit.
Sungguh, ini anugerah tidak terduga bagi saya. Ketika kehidupan pribadi yang sedang didera cobaan, ternyata masih ada kebahagiaan yang turut hadir.
Untuk itu, terima kasih yang tidak terhingga untuk semua pihak yang membantu saya atas terbitnya buku ini. Untuk teman yang posting di laman Gramedia Writing Project, tetap semangat. Siapa tahu naskah kamu selanjutnya.
Jika ada yang nanya, lebih gampang nulis apa, cerpen atau novel?
Jawaban saya sementara ini adalah novel. Apalagi jika pertanyaannya ditambah, lebih senang nulis yang mana. Jawabannya masih saja sama.
Bagi saya, walaupun cerpen jauh lebih pendek, tapi tekniknya sulit. Harus benar-benar memperhitungkan ketepatan penyelesaian konflik, mengambil sudut pandang yang tepat, menghitung jumlah kata biar tidak berlebihan dan juga membuat plot yang biasanya di disampaikan dengan minimal 30.000 kata itu menjadi hanya dua tiga halaman. Mungkin memang bisa diambil satu potongan konflik, hanya saja saya inspirasi yang menghampiri saya biasanya adalah rangkaian konflik.
Tidak hanya karena sulit, tapi juga karena tidak tega. Inspirasi datangnya itu kadang tidak terduga, dan bagi saya begitu sayang jika 'hanya' dihadirkan dalam sebuah cerpen. Bukan maksud mengecilkan arti cerpen ya, tapi dari pengalaman saya, banyak inspirasi yang muncul tiba-tiba itu kemudian saya rangkai menjadi cerita yang lebih panjang.
Saya pernah membuat cerpen, pernah juga mengikutkannya dalam sebuah lomba. Lebih sering lagi mengirim ke media. Nyatanya, tidak ada satu pun yang lolos. Bahkan cerpen-cerpen saya yang dulu saya ikutkan dalam acara #SelasaBercerita-nya penerbit JOPH selalu lebih banyak kekurangan dibanding kelebihannya. Itu karena saya kurang bisa mengeksekusi sebuah ide dalam batasan kata yang sedikit. Secara pribadi saya lebih leluasa memaparkan ide-ide dalam jalinan kata yang panjang.
Saya sering iri nih sama teman-teman yang karya cerpennya dimuat di koran atau media online. Iri pula dengan teman-teman yang mampu membuat cerpen yang materinya padahal sederhana, tapi mampu disuguhkan dengan cara khas yang endingnya bikin jantung serasa ditusuk. Jleb gitu.
Kelak kalau ada waktu, saya juga mau ah belajar nulis cerpen. Walau mungkin bukan untuk dikirim ke media or sebagainya, setidaknya bisa untuk ngisi blog ini. Namun ya tetap, kelak kalau ada waktu. Waktunya selalu habis untuk nulis dan revisi naskah novel soalnya. Hahahha
Cerita di Balik Penulisan Novel Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta
By alhzeta - April 17, 2016
Wow, judulnya panjang. Benar-benar nggak SEO-minded banget. Namun kalau disingkat juga kayaknya nggak seru. Lagi pula, postingan ini juga bukan untuk lomba SEO yang harus ada di posisi satu si SERP, jadi sutralah.
Sebelumnya saya sudah pernah ceritain tentang proses diikutkannya naskah mentah novel ini ke lomba #WayBackHome. Namun saya belum cerita kayaknya tentang proses kreatif yang ada di baliknya.
Proses penulisannya dimulai sekitar bulan Juli tahun 2015. Naskah ini sendiri merupakan naskah keempat yang saya tulis di tahun 2015. Saat itu saya bosan menulis romance. Maklum tiga naskah terdahulu (yang pada akhirnya semuanya ditolak penerbit) adalah tentang drama percintaan, jadi saat itu saya ingin membuat naskah yang berbeda.
Kemudian muncul ide mengenai mantan narapidana itu. Jujur, cara saya mendapatkan inspirasi itu kadang tidak terduga. Kadang muncul seketika pas bangun tidur, kadang juga berkat mimpi. Khusus untuk naskah Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta ini, ide itu tercetus dengan seketika. Kebetulan pada saat itu saya juga sedang berusaha memahami tentang konsep-konsep Tuhan lewat kitab suci, maka jadilah dua bidang itu saya satukan dalam naskah.
Proses penyempurnaan ide tidak berlangsung lama. Saya adalah orang yang impulsif, akan langsung menulis begitu ide muncul. Entah detail idenya lengkap atau tidak, yang penting premise utama hingga ending sudah terbayang. Kemudian bagaimana dengan outline? Hahaha.... saya punya outline mentah, bahkan sering bikin begitu ide keluar. Hanya saja pada praktiknya, plot lebih sering melenceng dari outline awal yang saya buat.
Lalu apa premise utama dari naskah ini? Simple, hanya seorang mantan narapidana yang akhirnya terdampar di Bali dan menemukan jati diri dengan bantuan seorang tour guide. Ide mengenai tour guide ini muncul setelah seringnya saya melihat turis-turis asing yang datang ke tempat-tempat suci dengan ditemani oleh orang lokal (dan biasanya berkecimpung di dunia spiritual).
Berbekal dengan plot utama tersebut, saya mulai menulis sambil berusaha menemukan detail perjalanan tokoh utamanya. Saya adalah orang yang percaya bahwa ide akan datang ketika kita fokus pada satu naskah. Jadi, ketika saya memutuskan untuk langsung menulis bab-bab awal, setiap detail cerita kemudian menghampiri saya dengan sendirinya.
Saat sedang tidak bisa menulis, saya melakukan riset. Tidak banyak sebenarnya, mengingat seting dan materi sudah saya hapal betul. Namun saya masih tidak berani memasukan konsep-konsep ke-Tuhanan secara sembarangan ke dalam naskah ini. Jadinya saya melakukan riset tambahan dengan membuka-buka Bhagawad Gita serta wejangan-wejangan suci seorang tokoh spiritual Bali yang namanya saya sebutkan di ucapan terima kasih.
Singkat kata, naskah ini selesai saya tulis selama kurang lebih dua bulan. Sambil proses self editing, saya mencari judul. Ini bagian yang susah, untuk naskah ini saya agak kesulitan mengambil judul. Beberapa alternatif, hingga akhirnya saya meminjam sebuah judul lagi. Prisoner of the Past.
Setelah naskah lolos jadi juara pertama, maka dimulailah serangkaian revisi. Tidak banyak, hanya beberapa poin. Ada adegan yang harus diperhalus (padahal itu udah dihalusin pakai amplas sebelumnya), ada pula adegan yang harus dibuang. Ada juga konflik yang dibuang (bagian ini yang bikin saya agak.... huh *mengelus dada* saking sayangnya). Cuma kan emang harus menerima saran dari editor. Jadi ya direlakan saja.
Judul yang sekarang "Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta" saya temukan dalam sepanjang sesi editing. Kebetulan saya pernah memberikan alternatif ending, sehingga beberapa bagian dari akhir naskah ini saya tulis ulang. Kemudian, pada saat itulah saya tercetus ide tentang kompas yang langsung disambut dengan antusias oleh sang editor.
Begitulah proses di balik novel ini. Sampai tahap ini, semua prosesnya menyenangkan kok. Walaupun ada ‘drama’ yang hmmm... *spoiler* tapi tetap, buku ini akhirnya sampai di tangan pembaca.
Pada awalnya, saya kira perjuangan itu seakan terhenti setelah satu atau dua naskah berhasil diterbitkan. Perjuangan berakhir setelah sesi revisi dan editing selesai, kemudian menunggu kabar dan akhirnya menemukan naskah yang kita cintai terpajang di toko buku.
Nah, apakah memang semua terhenti di sana?
Tidak. Ternyata bagian yang sama mendebarkannya sedang menunggu untuk membuat kita kembali berdebar-debar. Setelah novel mejeng di rak, dibeli dan kemudian dibaca, tiba waktunya bagi jantung seorang penulis untuk berdegup kencang. Harap-harap cemas, ingin melihat tapi tidak berani, tapi juga penasaran.
REVIEW.
Iyap, bagian yang mungkin akan bikin bad mood selanjutnya adalah melihat reaksi pembaca. Apakah mereka suka, apakah mereka menganggap buku kita membosankan, ataukah menyesal membelinya?
Hahahaha... sebagai seorang penulis yang baru menelorkan karya, saya adalah salah satu di antara orang-orang di atas. Plus sebagai orang yang realistis, saya tahu tidak akan semua orang menyukai karya saya. Namun, serealistis saya pun masih tetap cemas jika buku saya dicaci maki, dikatain jelek atau sebagainya.
Menurut salah satu penulis yang sudah duluan menelorkan karya, melihat review buku sendiri itu seperti melihat timbangan. Kepengen, penasaran tapi cemas. Pengen tahu itu pasti, tapi kalau reviewnya jelek, yakin akan bad mood seharian.
Saya pun begitu. Walau review yang masuk belum begitu banyak. Tapi saya tahu tidak semua menyukai karya-karya saya. Dan, saya berusaha untuk menerima karena semua memang ujung-ujungnya masalah selera. Jadi saat ada yang hanya ngasih bintang satu dengan review "ceritanya tidak masuk akal' saya anggap itu adalah perwujudan dari sebuah selera yang salah memilih.
Oke, saya nggak akan membela diri dengan menjelaskan kenapa buku saya dibilang tidak masuk akal. Itu hak asasi pembaca untuk menilai. yang perlu saya lakukan adalah menerimanya dengan lapang dada. Berusaha untuk tidak memasukannya ke hati. dan, sebenarnya saya sudah berniat untuk tidak memikirkan rating or review, tapi ya namanya juga manusia ya tetap ingin tahu.
Sampai saat ini saya masih menunggu review detail yang mengulik kekurangan buku-buku saya. Karena saya yakin banget, buku dua itu masih banyak yang harus diperbaiki. Kualitas saya masih belum mumpuni untuk disebut 'berkualitas'. Saya sadar loh saya punya keterbatasan dan jika ada review yang begitu, semoga saya masih juga bisa lapang dada untuk menerimanya.
Karena mengalami masa ini pun saya jadi bersyukur karena naskah-naskah saya yang 'jelek' dan hanya mojok di laptop itu ditolak penerbit. Bisa bayangkan bagaimana jika penerbit menerbitkan naskah yang tidak layak itu. Pembaca akan mencaci maki habis-habisan. Ujung-ujungnya juga penulis yang sakit hati. Atau bahkan kehilangan kepercayaan diri untuk kembali menulis. Yah, kecuali jika penulisnya kepedean dan tidak ambil pusing secara ekstrim ya.
Dan, saya bukan orang seperti itu. Setelah terbit pun saya masih tetap tidak percaya diri, berkali-kali bertanya sama editor mengenai 'apakah buku itu layak baca?'
Yah, begitulah. Semua proses itu pasti harus dilalui kok. Tidak ada cara lebih bagus selain menjalaninya. PASTI
Setelah blog tour The Stardust Cacther yang dimulai tanggal 1 April kemarin, akhirnya saya dapat info dari editor kalau novel Satu Mata Panah yang Buta juga akan diadakan acara serupa.
Eventnya sendiri akan dimulai dari tanggal 11 April, dengan host seperti dalam banner berikut. Ajaibnya, ternyata salah satu host The Stardust Catcher juga didapuk jadi host di event ini.
Jadi untuk kamu yang ingin dapat novel ini gratis, simak jadwal acaranya ya
Senang banget nih The Stardust Catcher sebentar lagi terbit. Dan, eh, sebenarnya juga sudah tersedia di toko buku online dan saya sudah mendapat mention dari seorang di twitter kalau doi sudah beli bukunya.
Seperti yang saya sampaikan di postingan terdahulu, mengikuti terbitnya buku ini maka penerbit mengadakan blogtour dengan hadiah satu eksemplar buku dan souvenir cantik. Akan ada satu paket hadiah yang dibagikan oleh setiap blog.
Souvenirnya apa? Tas mungil yang cantik banget. Jika yang sering berburu oleh-oleh khas Bali pasti akan suka.
Penasaran? berikut jadwalnya. Selamat berburu gratisan ^ ^
Akhirnya, setelah sebulan menunggu semenjak PO dibuka, novel Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta terbit sudah. Stoknya sudah ready, dengan harga jual Rp 65.000.
Lalu di mana bisa dapatin buku ini?
Untuk sementara buku ini baru dijual di toko buku online, di antaranya:
Atau yang mau dapat buku plus bertanda tangan penulisnya (itu saya, ehem), bisa kontak saya di alhzeta@gmail.com, atau di akun twitter @bukubekasmu.
Lalu di mana bisa dapatin buku ini?
Untuk sementara buku ini baru dijual di toko buku online, di antaranya:
Atau yang mau dapat buku plus bertanda tangan penulisnya (itu saya, ehem), bisa kontak saya di alhzeta@gmail.com, atau di akun twitter @bukubekasmu.
SEGERA TERBIT
“Apa harapanmu tahun ini?”
Joe: Punya alternatif lain untuk berbahagia selain dengan mencari pasangan.
Mela: Mendapat tambahan umur setidaknya empat tahun lagi, yah.... biar bisa main remi lebih lama lagi sih.
Bermula dari secarik kertas dalam jaket di commuter line, Joe dan Mela bercengkerama lewat ask.fm. Selama setahun, hanya lewat media sosial itulah mereka berhubungan. Hingga Joe tertinggal rombongan saat liburan bersama teman-teman kuliahnya. Ia tersesat di Bali. Sendirian.
Saat itulah Sally Cinnamon muncul dan mengaku sebagai peri yang akan mempertemukan Joe dengan jodohnya. Wait, peri jodoh? Yang benar saja? Ditemani Sally, Joe berusaha mencari rombongannya. Petualangan yang mempertemukannya dengan Mela, si spa therapist yang sekarat.
Apakah Mela jodoh yang dimaksud Sally? Apakah Joe benar-benar tersesat dan bukannya sengaja menghilang karena protes akan perceraian orangtuanya?
Novel kedua saya akan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU) di bawah lini Young Adult. Masih dengan setting Bali, menceritakan tentang seorang pemuda bernama Joe yang sedang mengalami masalah keluarga. Sesuai dengan lininya, segmen pembaca untuk novel ini adalah dewasa muda walaupun tidak menutup kemungkinan dibaca juga oleh orang di luar umur itu.
Yang menarik dari novel ini adalah kamu akan bertemu dengan Sally, peri cahaya yang ternyata adalah peri jodoh. Sally ini bertugas mempertemukan Joe dengan jodohnya. Nah, jika bicara mengenai jodoh, mungkin kalian akan membayangkan novel romance. Yah, memang ada unsur romannya sih, hanya saja sama seperti novel pertama, cinta bukanlah bahasan utama.
Sesuai dengan pengumuman resmi dari fans fage Gramedia Pustaka Utama, novel ini direncanakan terbit tanggal 31 Maret 2016 dengan harga Rp 48.000.
Inilah yang saya hadapi sekarang. Salah satu naskah saya terlalu lama mengendap di penerbit tanpa keputusan dan apa akibatnya?
Sekitar awal akhir Januari 2015, saya menyelesaikan sebuah naskah romance. Secara pribadi, saya sangat menyayangi naskah ini. Begitu sayang, karena di dalamnya saya selipkan titipkan cinta saya pada karakter-karakter yang berasa sangat-sangat dekat di hati. Sekitar pertengahan Februari, naskah itu saya kirim dengan penuh doa dan harapan.
Di akhir bulan, pemberitahuan penerimaan naskah masuk lewat email. Selanjutnya saya menunggu, menunggu dan menunggu janji penerbit bahwa masa seleksi berlangsung 3-4 bulan.
Sayangnya hingga 6 bulan tetap tidak ada kabar. Saya coba kontak penerbit dengan banyak cara, tetap saja tidak mendapat respon.
Kemudian saya kirim email ke beberapa alamat penulis yang juga mendapat pemberitahuan naskah masuk yang sama dengan saya. Hampir dari semua yang saya kirimi email bilang belum mendapat keputusan.
Oke, berarti memang belum.
Kemudian saya tunggu lagi. Di bulan kedelapan, tiga dari teman penulis yang saya kirimi email bilang naskah mereka sudah dikembalikan. Sementara naskah saya belum. Nah, saya mulai mengharap. Semakin lama naskah itu di meja editor, kemungkinan terbit besar. Jadi sampai beberapa bulan kemudian saya menunggu.
Di Bulan 10, saya mulai resah. Saya coba telpon ke penerbit, dibilang naskahnya masih di editor. Begitu pula di bulan-bulan selanjutnya. Sampai akhirnya melewati bulan Februari 2016, saya mulai aktif mengejar.
Mungkin redaksi kelelahan dengan telepon saya, akhirnya menyambungkannya langsung ke editor. Nah, di sana yang saya sayangkan, sang editor malah balik bertanya sama saya, "Redaksinya bilang posisi naskahnya di mana?"
Nah lo? Kok malah saya yang ditanya. Akhirnya saya sampaikan apa yang saya tahu, bahwa naskah ada di editor. Iya, si Mbak yang barusan nanya sama saya itu.Akhirnya sang editor bilang akan mencari dulu dan saya disuruh menelpon lain hari.
Singkat kata, saat saya nelpon balik di awal Maret 2015, sang editor bilang "naskahnya nanti akan dikembalikan,"
Oke. Saya nggak akan membahas tentang naskah yang sampai tanggal ini, 18 Maret 2015 belum juga dikembalikan. Saya ingin bercerita tentang apa akibat dari naskah itu setelah hampir 13 bulan mengendap di penerbit.
Sekitar bulan Juni 2015, penerbit yang bersangkutan menerbitkan sebuah novel. Setelah saya baca-baca, premise utama novel itu sangat mirip dengan naskah saya. Nggak... saya nggak berburuk sangka. Naskah saya ngga sehebat itu untuk dicontek, apalagi dijiplak. Poin yang ingin saya bahas di sini adalah, kesamaan premise ini membuat saya dilema.
Saat naskah sudah pasti ditolak, tentunya saya ingin mencoba menerbitkannya di penerbit lain. Namun sayangnya, setelah konsultasi dengan teman dan juga editor tercinta, saya mendapat kenyataan bahwa jika naskah itu memang bisa diterbitkan, saya mungkin akan dianggap plagiat. Saya mungkin saja dianggap mencuri ide mengingat naskah saya terbitnya belakangan (kalau diterbitkan ya, catat).
Mengingat begitu pembaca di luar sana rentan banget sama hal-hal yang berbau plagiat, bisa jadi nanti saja akan dicerca habis-habisan. Saya bukan tipe orang yang tahan banting dengan hal-hal seperti itu. Jadi, dengan berat hati, dilema ini saya akhiri dengan menuruti pertimbangan dari teman dan juga sang editor.
Naskah ini tidak akan dilanjutkan lagi. Alias, hanya akan jadi penghuni komputer. Sedih? Tentu saja. Naskah yang sangat saya harap-harapkan akan terbit, naskah yang saya cintai.
Saya mencoba untuk merelakannya saja. Kata editor, toh masih bisa inspirasi lain lagi. Tapi saya tetap unggah naskah itu di komunitas Gramedia Writing Project. Bagi yang ingin baca, silahkan meluncur ke http://gwp.co.id/parafrasa/
Adakah yang minat ikut komunits menulis plus punya peluang agar
tulisannya diterbitkan di Gramedia Putaka Utama aka GPU? Yap, cobalah
join di Gramedia Writing Project.
Berdasarkan pengumuman resmi dari penerbit GPU, cara mengirim naskah memang sudah tidak hanya terbatas pada jalur umum (pengiriman print out lewat pos saja), tapi kini juga lewat jalur email dan GWP ini. Bagi yang ingin lihat lebih lanjut, bisa deh tengok pengumuman di akun Tumblr resmi GPU.
Nah, khusus untuk jalur GWP ini, kamu cuma perlu unggah sebagian naskah disertai dengan sinopsis (bukan sinopsis lengkap ya). Editor GPU akan melakukan cek secara berkala terhadap naskah masuk sesuai dengan genre atau kagetorinya.
Untuk lebih efektifnya, habis posting di GWP, kamu bisa mention beberapa editor di twitter untuk minta saran. Follow juga akun twitter GWP_ID karena Admin kadang ngeRT editor-editor yang sedang 'ronda' di website resminya GWP, jika sudah begitu kamu bisa mention link naskah kamu untuk dikunjungi.
Selain itu, karena ini komunitas tentunya kamu akan menemukan banyak sekali tulisan-tulisan dari penulis lain. Kamu bisa membaca dan juga memberi komentar dan juga sebaliknya.
Saya juga punya akun di sana. Bagi yang ingin lihat tulisan-tulisan terbaru saya, bisa kok cek di http://gwp.co.id/author/alhzeta/ (tapi cuma tersisa satu tulisan, lainnya sudah dihapus).
Berdasarkan pengumuman resmi dari penerbit GPU, cara mengirim naskah memang sudah tidak hanya terbatas pada jalur umum (pengiriman print out lewat pos saja), tapi kini juga lewat jalur email dan GWP ini. Bagi yang ingin lihat lebih lanjut, bisa deh tengok pengumuman di akun Tumblr resmi GPU.
Nah, khusus untuk jalur GWP ini, kamu cuma perlu unggah sebagian naskah disertai dengan sinopsis (bukan sinopsis lengkap ya). Editor GPU akan melakukan cek secara berkala terhadap naskah masuk sesuai dengan genre atau kagetorinya.
Untuk lebih efektifnya, habis posting di GWP, kamu bisa mention beberapa editor di twitter untuk minta saran. Follow juga akun twitter GWP_ID karena Admin kadang ngeRT editor-editor yang sedang 'ronda' di website resminya GWP, jika sudah begitu kamu bisa mention link naskah kamu untuk dikunjungi.
Selain itu, karena ini komunitas tentunya kamu akan menemukan banyak sekali tulisan-tulisan dari penulis lain. Kamu bisa membaca dan juga memberi komentar dan juga sebaliknya.
Saya juga punya akun di sana. Bagi yang ingin lihat tulisan-tulisan terbaru saya, bisa kok cek di http://gwp.co.id/author/alhzeta/ (tapi cuma tersisa satu tulisan, lainnya sudah dihapus).
SEGERA TERBIT
Kompasmu, apakah kamu memperhatikannya? Ada dua arah di sana. Utara dan selatan. Sama halnya seperti matamu sendiri, arah itu menyelamatkanmu dari kesesatan.
Tapi kompas milikku buta. Tidak ada utara selatan dalam hidupku, semua hanyut dalam ketakutan dan masa lalu. Lima belas tahun penjara mencuri jarum kompasku dan setelah bebas, aku pun masih belum tahu ke mana arah hidupku.
Aku pembunuh, korban hasrat yang menyimpang. Dunia luar menungguku, berpura-pura menyambutku dengan semarak, untuk kemudian kembali meremukkanku dalam ketakutan.
Aku butuh jalan, butuh mata kompasku. Apakah kamu bisa membantuku menemukannya?
Aku Ravit, bekas tahanan yang kini kembali terpenjara rasa takut.
Pada kisah ini kamu akan bertemu dengan Ravit, seorang narapidana yang baru saja keluar dari penjara. Dia sudah kehilangan banyak hal, kebahagiaan, orang-orang yang disayang serta kesempatan untuk merasa dirindukan. Dunia luar hanya memberinya masa lalu yang mengerikan, dan ketika waktunya untuk bebas, dia malah merasa takut.
Aku hanya merasa tidak nyaman karena seseorang begitu bergembira dengan kebebasanku, sementara diriku sendiri masih bertanya-tanya, apakah kebebasan ini memang sebuah berita gembira dan awal yang baik untuk masa depanku.
Iyap, seperti tema dari lomba Way Back Home, novel ini memang tentang pencarian jati diri untuk kembali bisa melangkah menjalani kehidupan.
Genrenya sendiri mix antara drama dan spiritual travelling. Jadi jika kamu bosan dengan bacaan tentang cinta-cintaan yang endingnya hanya putus atau jadian, buku ini bisa dijadikan alternatif. Atau lebih suka bacaan yang ada cinta-cintaannya juga? Tenang, Novel ini memiliki unsur romance juga kok walau dalam porsi yang kecil.
Pre Order untuk novel ini sendiri sudah dibuka. Harga normalnya Rp 65.000 tapi diskon 25% jadi Rp 48. 750. Cara PO-nya bisa dilihat di gambar ini:
Tahun lalu saya berkesempatan mengikuti sebuah lomba penulisan novel yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit baru, Jendela O Publishing House, yang lebih dikenal dengan sebutan JOPH. Lomba ini bertemakan Way Back Home dan ingin mengangkat kisah-kisah tentang pencarian jati diri baik dalam hal cinta, kehidupan, passion dan sebagainya.
Saya menemukan informasi tentang lomba ini dari sebuah komunitas di Goodreads, dan kebetulan saat itu juga sedang menulis naskah dengan tema sejenis. Entahlah, mungkin memang sudah jodohnya naskah ini akan masuk ke lomba itu. Walaupun awalnya saya sempat bingung karena sejak dimulai nulis Juli 2015 silam, naskah ini diperuntukan ke penerbit lain.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya ikutkan naskah yang saya kasih judul "Prisoner of the Past" ini ke lomba yang dimaksud ke atas. Pengirimannya sekitar pertengahan September, setelah lelah edit sana edit sini. Singkat kata saya nekat, dengan asumsi jika pun naskah ini tidak menang, toh pengumumannya cepat yaitu sekitar pertengahan November. Saya masih bisa mengalihkan naskah ini ke tujuan awal.
Mendekati tanggal pengumuman, jujur saya resah. Berulangkali saya menekankan pada diri sendiri, bahwa naskah saya mungkin tidak akan masuk kualifikasi. Bukannya pesimis, tapi saya tidak ingin berharap terlalu banyak, mengingat sekian naskah saya yang pernah masuk ke meja penerbit akhirnya dikembalikan utuh.
Tanggal 15 November, waktunya pengumuman pemenang. Namun admin JOPH sengaja menunda-nunda sampai malam, demi membuat para peserta jengkel dan gemas. Saya sendiri sebenarnya sudah pasrah, bermaksud tidak akan melihat pengumuman itu karena tahu, jika naskah lolos maka akan ada notifikasi via email.
Mendekati pukul 7 (pengumumannya dikeluarkan tepat jam 7 WIB), usaha saya untuk menggilas harapan menang itu makin kuat. Saya katakan pada diri sendiri bahwa 'tidak, tidak, tidak mungkin menang'.
Aneh kan, ketika peserta lain mungkin merepetisi doa 'saya pasti menang', saya malah membatin sebaliknya. Tapi sumpah, ini cara paling ampuh untuk mencegah rasa kecewa. Apalagi beberapa waktu lalu, admin JOPH sempat meretweet satu tweet saya. Makinlah saya gede rasa. Karena itulah, saat pengumaman saya berusaha sekali untuk menekan pengharapan itu.
Biasalah, pengharapan yang berlebih kan memang rawan akan kekecewaan. Pas harapannya meleset, sakitnya itu nggak nahan. (halah).
Jam 7 WIB saya menjauh dari ponsel. Berusaha untuk tenang dan tidak berharap. Tidak buka twitter, tidak buka website JOPH. Berusaha untuk mengabaikannya.
Namun tiba-tiba, ada satu notifikasi yang masuk ke ponsel. Email masuk, tanpa perlu saya buka, terlihat bahwa pengirimnya adalah email yang saya kirimi naskah September lalu.
Pesan apa kira-kira? Apalagi kalau bukan pemberitahuan pemenang lomba. Yes, naskah saya menang! Yes!
Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, pemenang ke berapa?
Baru pada saat itulah saya membuka website JOPH, saya begitu tercengang ketika menemukan bahwa.....
Yap, menjadi juara pertama dari 137 naskah. Yah.... begitulah.
Naskah ini sendiri sekarang dalam proses lay out, rencananya akan terbit bulan Maret 2016.